PARADOKS BIDIK MISI : SEMAKIN CERDIK MEMANIPULASI, SEMAKIN HIDUP TERJAMIN NAN TERCUKUPI

Satifa Agatha
5 min readMay 5, 2024

--

Menyandang predikat sebagai seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi merupakan sebuah nikmat yang tak banyak pemuda mampu menikmatinya pula, apalagi predikat sebagai awardee penerima beasiswa dari instansi tertentu seharusnya mestilah jadi kebanggaan tesendiri bagi segelintir mahasiswa yang memperolehnya. Ironisnya, ketidaktepatan sasaran mahasiswa yang menjadi penerima beasiswa menjadi isu perihal manajemen penyaringan awardee beasiswa oleh beberapa instansi. Telah berapa banyak mata kepala kita sendiri melihat teman kita sendiri dari keluarga mampu-terpandang justru dengan mudah lolos verifikasi administrasi dalam seleksi beasiswa tertentu, beasiswa keluarga kurang mampu misalnya, spesifiknya seperti KIP-K Kuliah. Dalam benak saya, kok bisa mahasiswa yang besar dan bertumbuh dari kasta keluarga menengah ke atas yang secara pendapatan orang tua tergolong mampu nan tercukupi justru diloloskan untuk menerima tunjangan negara dalam kemasan beasiswa, yang mana seharusnya tunjangan tersebut alangkah baik jikalau tidak untuk mereka.

Geram dan gemas sekali saya melihat fenomena penyalahgunaan uang beasiswa Bidik Misi dari Kemendikbud yang mana tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, namun justru untuk pemenuh hasrat hedonis segelintir mahasiswa semata. Wahhh, ternyata 12 tahun program wajib belajar dari pemerintah sendiri telah melahirkan generasi tak tahu diri yang pandai memanipulasi. Bagaimana tidak, segelintir dari mereka yang mampu kita sorot sebagai penerima beasiswa bidikmisi (KIP-K) salah sasaran tersebut terkadang ngelunjak, mempertontonkan ragam gaya hidup hedonis, dan berbelanja barang-barang tersier mewah hasil mengelabuhi instansi negara mulai dari baju, ponsel Iphone, hingga barang-barang branded lainnya.

Tak hanya itu, sebagian dari mereka yang uang UKT dan biaya hidupnya telah ditunjang oleh negara terkadang ada pula yang kuliahnya hanya sekedar Kupu-Kupu (Kuliah-Pulang-Kuliah-Pulang). Boro-boro punya inisiatif untuk berorganisasi dan mencari relasi selama masa kuliah, baru saja masuk semester baru dan digerimisi beberapa tugas, kerasnya keluhan mereka sudah melebihi orang yang terdiagnosa sakit asam urat.

Sebelumnya saya tak pernah mau untuk menaruh perasaan iri dan dengki pada mereka-mereka penerima beasiswa Bidik Misi Kemendikbud yang pada awalnya saya pandang mereka memang pantas memperolehnya lantaran latar belakang ekonomi yang kurang beruntung. Akan tetapi, makin kesini, makin kesana, mata saya terbelalak oleh fakta bahwa tak semua latar belakang penerima beasiswa Bidik Misi Kemendikbud tersebut layak dilabeli sebagai ”Keluarga Miskin“. Saya mengamati kehidupan kesehariannya beberapa dari mereka diantaranya, sedikit banyak saya pandangi kehidupan keluarganya, bisa dibilang mereka tidak miskin-miskin amat. Sebagian lainnya justru lebih layak mendapatkan predikat sebagai keluarga berkecukupan.

Namun apa daya, kita tak punya otoritas apapun, yang memiliki otoritas untuk menentukan siapa saja yang berhak menerima beasiswa KIP-K tersebut hanyalah pihak Kemdikbudristek. Namun sebagai warga negara yang punya otak untuk berpikir, hati untuk merasa, dan hak untuk mengeluarkan pendapat telah memantik saya untuk sedikit banyak turut bersuara mengangkat isu-isu paradoks semacam ini.

Seperti kasus terbaru yang viral di Twitter perihal penerima KIP-K salah sasaran, yaitu mahasiswa UNDIP inisial C dan N yang ketahuan bergaya hidup mewah sokongan uang KIP-K ramai disorot oleh netizen beberapa waktu terakhir ini. Hal tersebut cukup membuat shik-shak-shok warga jagat Twitter. Pasalnya, pelaku dinilai tak memiliki empati dengan mempublish gaya hidup modern-nya ke media sosial. Bagaimana perasaan mahasiswa dengan latar belakang keluar petani misalnya, yang untuk membayar uang UKT kuliah anaknya perlu mencicil sedemikian susahnya. Melalui kasus tersebut, sudah dapat di prediksi, bagaimana tajamnya cibiran netizen Indonesia ketika menanggapi hal-hal yang kontroversial semacam itu.

Alhasil, viral menjadi senjata makan tuan yang membuat pelaku di cibir oleh metizen Indonesia. Di kolom komentar sebuah postingan pembukaan beasiswa bulan lalu misalnya, saya menemukan komentar yang bikin orang-orang mengelus dada, kurang lebih isi komentarnya semacam ini ‘kalau sudah menerima beasiswa KIP-K, kira kira boleh daftar Beasiswa Unggulan (BU) nggak ya ?’. Tak perlu menunggu dada menjadi sesak untuk dapat membuat orang-orang mengelus dada, para mahasiswa medioker yang belum beruntung mendapatkan beasiswa pun kapanpun bisa saja mengelus dada tatkala membaca komentar menyulut amarah semacam itu.

Penulis tentunya pantas menaruh keprihatinan mendalam jika mengamati fenomena ketimpangan perolehan hak seperti ini. Terlihat banyak mahasiswa aktif berprestasi, aktivis kampus hingga mahasiswa berbakat non-akademis yang seharusnya lebih layak dalam tahap penjaringan dibandingkan mahasiswa yang cukup mampu menunjukan surat keterangan tidak mampu dari RT/RW setempat disertai potret keluarga beraut muka sok melas, pun dipoles lampiran foto palsu rumah tetangga yang reyot dan tak layak huni.

Di sisi lain, mahasiswa belakangan ini patut karena hadir program dari Kemendikbud dalam kemasan lain yang penulis nilai lebih membanggakan. Ya, ialah program Merdeka Belajar Kampus Merdeka. MBKM hadir sebagai medium mahasiswa untuk mengembangkan hardskill dan softskill mereka sebelum terjun ke dunia kerja nyata yang sesungguhnya. Berkat kehadirannya (MBKM), telah banyak kontribusi mahasiswa yang disalurkan kepada negeri, mulai dari sumbangsih pengabdian masyarakat, hingga sumbangsih pada perputaran roda perekenomian industri.

Rasa syukur yang berkepanjangan patut dihaturkan kepada Pak Menteri — Nadiem Makarim lantaran keberadaan program MBKM hasil perombakan Kurikulum Merdeka-nya berdampak signifikan bagi mahasiswa yang bergabung pada program tersebut. Pasalnya dalam seleksinya, diperlukan bukti keaktifan semasa bangku perkuliahan dibuktikan dengan sertifikat pendukungnya, entah prestasi maupun keuletannya dalam berorganisasi. Hal semacam ini, penulis rasa lebih fair karena sesuai dengan kalimat mujarab bahwa ‘usaha takkan mengkhianati hasil’. Peluh keringat dalam mengembangkan diri selama masa kuliah patut dihargai dengan penghargaan yang sepadan semacam ini (kelolosan seleksi program MBKM). Sehingga, kapasitas dan integritas mereka saat memberikan kontribusi nyata pada khalayak luas di luar bangku perkuliahan sudah tidak diragukan lagi lantaran telah teruji di periode dinamika perkuliahan aktif sebelum mereka terjun ke masyarakat sesungguhnya.

Ketidaktepatan sasaran penerima beasiswa KIP-K menjadi segelintir contoh, bobroknya sistem birokrasi pendidikan di Indonesia. Ketimpangan yang timbul kadang membuat permasalahan tersebut melunturkan nilai-nilai sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penulis menyorotnya secara nyata, bahwa akibat ketimpangan tersebut dimana anak staff Pemdes mampu kuliah full lewat tunjangan negara, sedang disisi lain anak petani berprestasi meratap tak mampu melanjutkan mimpi lantaran keterbatasan informasi atau bahkan sesederhana demi mempertahankan prinsip kejujurannya.

Penulis turut berduka, bagi penulis, produk sesungguhnya dari pendidikan bukanlah manusia yang sukses menjadi budak korporat dengan gaji setara atau lebih dari UMR Daerah. Lebih dari itu, produk pendidikan selayaknya ialah pemuda-pemudi yang memiliki kebijaksanaan tinggi, bersedia menurunkan ego demi kesejahteraan lingkungannya serta mengedepankan etika diatas keilmuannya. Percuma saja, bintang berderet didada, CV berderet panjang pengalamannya, piala bertengger rapat di lemarinya, tapi jika tingkah lakunya tak mau dibatasi norma-norma yang ada disekitarnya. Mereka tak lebih dari orang dungu yang kehilangan lentera penuntun nalurinya, yaitu rasa segan.

Di akhir kata, penulis berasumsi bahwa beradab pula tak cukup, pemuda-pemudi produk pendidikan formal maupun non-formal perlu pula untuk merawat kecerdasan dan idealisme yang dimiliknya untuk meningkatkan taraf kehidupan manusia dimuka bumi ini. Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, penulis membenarkan apa yang pernah dikatakan Dosen Ilmu Filsafat UI yaitu Bapak Rocky Gerung, bahwa ijazah hanya tanda seseorang pernah sekolah, bukan tanda seseorang pernah berpikir. Sudah selayaknya ketinggian akal perlu diupayakan setara dengan ketinggian etika.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

DAFTAR RUJUKAN

[1] Sakinah, R. W. S., & Fithry, A. (2023). Analisis Yuridis Tentang Kewenangan Dan Tanggung Jawab Universitas Dalam Penyaluran Beasiswa Kartu Indonesia Pintar Yang Tidak Tepat Sasaran. Prosiding Snapp: Sosial Humaniora, Pertanian, Kesehatan Dan Teknologi, 2(1), 53–62.

[2] Sukarma, I. K., Karyasa, T. B., Hasim, H., Asfahani, A., & Azis, A. A. (2023). Mengurangi Ketimpangan Sosial Melalui Program Bantuan Pendidikan Bagi Anak-Anak Kurang Mampu. Community Development Journal: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 4(4), 8440–8447.

[3] Juventia, D., & Yuan, S. A. (2024). Ketimpangan Sosial Dalam Bidang Pendidikan dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat. MOTEKAR: Jurnal Multidisiplin Teknologi dan Arsitektur, 2(1), 418–427.

[4] https://www.bbc.com/indonesia/articles/cg67gqezdeyo — Diakses pada 4 Mei 2024

[5] https://www.cnbcindonesia.com/tech/20240502110836-37-535134/terungkap-daftar-mahasiswa-penerima-kip-bergaya-hedon-netizen-heboh — Diakses pada 4 Mei 2024

--

--

Satifa Agatha
Satifa Agatha

Written by Satifa Agatha

0 Followers

Fortis Fortuna Adiuvat | Fotografer di @brahmayasa & @vivalastoria.photo | Life for photo hunting, music and movie | Small circle. Private life. Peaceful mind.

No responses yet